Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**
Definisi Khilafah
Al Khilafah adalah kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam
dan mengemban da'wah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari Khilafah adalah Imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai arti yang
sama. Banyak hadits shahih yang
menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki makna yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun, baik dalam Al
Qur`an maupun Al Hadits, yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang
saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin boleh
menggunakan salah satu dari keduanya, apakah istilah Khilafah ataupun
Imamah. Sebab yang menjadi pegangan
adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.
Hukum Menegakkan Khilafah
Menegakkan
Khilafah hukumnya fardlu (wajib) bagi seluruh kaum muslimin. Melaksanakan kewajiban ini —sebagaimana
melaksanakan kewajiban lain yang telah dibebankan Allah kepada kaum muslimin—
adalah suatu keharusan yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar menawar lagi dan
tidak pula ada kompromi. Melalaikannya adalah salah satu perbuatan maksiat yang
terbesar dan Allah akan mengazab para pelakunya dengan azab yang sangat pedih.
Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah
Dalil-dalil mengenai
kewajiban menegakkan Khilafah bagi seluruh kaum muslimin adalah Al Qur`an, As
Sunnah, dan Ijma' Shahabat.
A. Dalil
Al-Quran
Dalam Al Qur`an, Allah SWT telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk menegakkan hukum di antara kaum muslimin
dengan hukum yang telah diturunkan-Nya.
Dan perintah itu datang dalam bentuk yang pasti (jazim). Allah SWT berfirman :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ عَمَّا جَائَكَ مِنَ الْحَقِّ
"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang
Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maa`idah: 48).
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنَزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu" (Al
Maa`idah: 49).
Khithab (firman) Allah SWT yang ditujukan kepada Rasul-Nya juga
merupakan seruan untuk umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
khithab itu dikhususkan untuk beliau.
Dalam hal ini tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya kepada Nabi,
sehingga menjadi seruan yang juga ditujukan kepada kaum muslimin untuk
menegakkan hukum. Tidak ada arti lain dalam mengangkat Khalifah kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan.
Allah SWT juga
memerintahkan agar kaum muslimin mentaati Ulil Amri, yaitu
penguasa. Perintah ini juga termasuk di
antara dalil yang menunjukkan kewajiban adanya penguasa atas kaum
muslimin. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu sekalian."
(An Nisaa`: 59).
Tentu saja Allah
SWT tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati seseorang yang tidak
berwujud. Allah juga tidak mewajibkan
mereka untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub. Maka
menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati
ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Adanya ulil
amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara', sedangkan
mengabaikan terwujudnya ulil amri
menyebabkan terabaikannya hukum syara'.
Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak
diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan
hukum syara'.
B. Dalil As-Sunnah
Sedangkan dalil dari
As Sunnah, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang
berkata: Umar radliyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ
لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada
Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki
hujjah. Dan siapa saja yang mati
sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati
jahiliyyah".
Nabi SAW mewajibkan
adanya bai'at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam
keadaan tidak berbai'at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai'at hanya dapat diberikan kepada
Khalifah, bukan kepada yang lain.
Rasulullah telah mewajibkan atas setiap muslim agar di lehernya selalu
ada bai'at kepada seorang Khalifah, namun tidak mewajibkan setiap muslim untuk
melakukan bai'at kepada Khalifah secara langsung. Yang wajib adalah adanya bai'at pada leher
setiap muslim, yaitu adanya seorang Khalifah yang dengan keberadaannya
menyebabkan terwujudnya bai'at pada leher setiap muslim. Jadi keberadaan Khalifah itulah yang akan
memenuhi tuntutan hukum adanya bai'at di atas leher setiap muslim, baik dia
berbai'at secara langsung maupun tidak.
Oleh karena itu, hadits di atas lebih tepat dijadikan dalil kewajiban
mengangkat seorang Khalifah daripada dalil kewajiban berbai'at. Sebab, dalam hadits tersebut yang dicela oleh
Rasulullah SAW adalah keadaan tiadanya bai'at pada leher setiap muslim hingga
ia mati, bukan karena dia tidak melaksanakan bai'at.
Imam Muslim telah
meriwayatkan dari Al A'raj dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا
الإمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya seorang Imam adalah laksana perisai; orang-orang
berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abi Hazim yang berkata:
قَاعَدْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِيْنَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ
اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ
بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءٌ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ:
فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Aku telah mengikuti majelis Abi Hurairah selama lima tahun,
pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda:
'Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para
nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak
Khalifah'. Para shahabat bertanya:
'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?' Beliau menjawab: 'Penuhilah
bai'at bagi yang pertama dan bagi yang pertama itu saja. Berikanlah kepada
mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka
tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka'".
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ
مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya (pemimpinnya)
hendaknya ia tetap bersabar. Sebab,
siapa saja yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan
demikian, maka matinya adalah mati jahiliyyah".
Hadits-hadits ini di antaranya merupakan pemberitahuan (ikhbar)
dari Rasulullah SAW bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin, dan bahwa seorang Khalifah
adalah laksana perisai. Pernyataan Rasulullah SAW bahwa seorang Imam
itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya fungsi-fungsi dari
keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan. Sebab, setiap
pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan
(adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan, atau
merupakan larangan; dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang
dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan. Dan kalau pelaksanaan
perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara' atau jika
ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara', maka tuntutan untuk
melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti.
Dalam hadits-hadits
ini juga disebutkan bahwa yang memimpin dan mengatur kaum muslimin adalah para
Khalifah. Ini menunjukkan adanya
tuntutan untuk mendirikan khilafah.
Salah satu hadits tersebut ada yang menjelaskan keharaman kaum muslimin
keluar dari penguasa. Semua ini
menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah
wajib.
Selain itu, Rasululah
SAW juga memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaan mereka.
Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah
dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut
kekuasaannya. Imam Muslim meriwayatkan
bahwa Nabi SAW bersabda:
وَمَنْ
بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيَطِعْهُ
إِنِّ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَآءَ آخَرُ يُنَازِعَهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرَ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu
ia memberikan kepadanya genggaman tangan
dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya sesanggup-sanggupnya. Apabila ada orang lain hendak merebut
kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu".
Jadi perintah mentaati Imam berarti pula perintah mewujudkan sistem
khilafahnya, sedang perintah memerangi orang yang merebut kekuasaannya
merupakan isyarat (qarinah) yang menegaskan secara pasti akan keharusan
melestarikan adanya Imam yang tunggal.
C. Dalil Ijma’ Shahabat
Adapun dalil Ijma'
Shahabat menunjukkan bahwa para shahabat ridlwanullahi 'alaihim, telah
bersepakat mengenai keharusan mengangkat seorang Khalifah sebagai pengganti
Rasulullah SAW setelah beliau wafat.
Mereka juga bersepakat mengangkat Khalifah sebagai pengganti Abu Bakar,
Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.
Ijma' Shahabat yang
menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahwa
mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan
pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau.
Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib
menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah
dikebumikan. Namun, para shahabat yang
wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di
antaranya justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah
daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian shahabat lain
mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama
menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka
mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan
(ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada
menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin
terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih
wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian
pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat
mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka
tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat
seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian
masing-masing Khalifah yang empat. Oleh
karena itu Ijma' Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah.
D. Dalil Qaidah Syar’iyyah
Selain itu,
menegakkan agama dan melaksanakan hukum syara' pada seluruh aspek kehidupan
dunia maupun akhirat adalah kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum
muslimin berdasarkan dalil yang qath'iyuts tsubut (pasti sumbernya) dan qath'iyud
dalalah (pasti maknanya). Kewajiban
tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan adanya
seorang penguasa. Kaidah syara' menyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِب
"Apabila suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."
Ditinjau dari kaidah ini, mengangkat seorang Khalifah hukumnya wajib
pula.
Dalil-dalil ini
semuanya menegaskan wajibnya mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum
muslimin; dan juga menegaskan wajibnya mengangkat seorang Khalifah untuk
memegang wewenang pemerintahan dan kekuasaan.
Kewajiban mengangkat Khalifah tersebut adalah demi melaksanakan
hukum-hukum syara', bukan demi mewujudkan
pemerintahan dan kekuasaan itu sendiri.
Perhatikanlah sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui
jalan 'Auf bin Malik:
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ
تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ
نُنَابِذُهُمْ بِالْسَيْفِ، فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ،
"Sebaik-baik Imam (Khalifah) kalian ialah mereka yang kalian
cintai dan mereka pun mencintai kalian;
mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk Imam
kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian
melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". Ditanyakan kepada Rasulullah, 'Wahai
Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?' Beliau menjawab,
"Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di
tengah-tengah kamu sekalian."
Hadits ini menegaskan akan adanya Imam-Imam yang baik dan Imam-Imam
yang jahat, selain menegaskan keharaman memerangi mereka dengan senjata selama
mereka masih menegakkan agama. Karena
ungkapan “menegakkan shalat” merupakan kinayah (kiasan) untuk mendirikan
agama dan sistem pemerintahan. Dengan
demikian jelaslah bahwa kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang
Khalifah —demi menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah— merupakan
suatu perkara yang tidak ada lagi syubhat (kesamaran) pada
dalil-dalilnya. Selain itu, mewujudkan kekuasaan adalah wajib ditinjau dari
segi bahwa ia diharuskan oleh suatu kewajiban yang difardlukan Allah SWT atas
kaum muslimin, yakni terlaksananya hukum Islam dan terpeliharanya kesatuan kaum
muslimin.
Hanya saja kewajiban
ini termasuk fardlu kifayah. Artinya, apabila sebagian kaum muslimin
telah melaksanakannya sehingga kewajiban tadi terpenuhi, maka gugurlah tuntutan
pelaksanaan kewajiban itu bagi yang lain.
Namun bila sebagian dari mereka belum mampu melaksanakan kewajiban itu,
walaupun mereka telah melaksanakan upaya-upaya yang bertujuan mengangkat
seorang Khalifah, maka status kewajiban tersebut tetap ada dan tidak gugur atas
seluruh kaum muslimin, selama mereka belum mempunyai Khalifah.
Berdiam Diri dari Kewajiban Ini
Berdiam diri terhadap kewajiban
mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin adalah satu perbuatan maksiat
yang paling besar. Karena, hal itu
berarti berdiam diri terhadap salah satu kewajiban yang amat penting dalam
Islam, dimana tegaknya hukum-hukum Islam —bahkan eksistensi Islam dalam
realitas kehidupan— bertumpu padanya.
Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin berdosa besar apabila berdiam
diri terhadap kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Kalau ternyata seluruh kaum muslimin
bersepakat untuk tidak mengangkat seorang Khalifah, maka dosa itu akan
ditanggung oleh setiap muslim di seantero penjuru bumi. Namun apabila sebagian kaum muslimin
melaksanakan kewajiban itu sedangkan sebagian yang lain tidak melaksanakannya,
maka dosa itu akan gugur bagi mereka yang telah berusaha mengangkat Khalifah,
sekalipun kewajiban itu tetap dibebankan atas mereka sampai berhasil
diangkatnya seorang Khalifah. Sebab, menyibukkan diri untuk melaksanakan suatu
kewajiban akan menggugurkan dosa atas ketidak-mampuannya melaksanakan kewajiban
tersebut dan atau penundaannya dari waktu yang telah ditetapkan. Hal ini karena
dia telah terlibat melaksanakan fardlu dan juga karena adanya suatu kondisi
yang memaksanya sehingga gagal melaksanakan fardlu itu dengan sempurna.
Ada
pun bagi mereka yang memang tidak terlibat dalam aktivitas menegakkan Khilafah,
akan tetap menanggung dosa sejak tiga hari setelah tidak adanya Khalifah. Dosa itu akan terus dipikulnya hingga hari
pengangkatan Khalifah yang baru. Sebab,
Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka suatu kewajiban tetapi mereka tidak
mengerjakannya, bahkan tidak terlibat dalam upaya-upaya yang menyebabkan
terlaksananya kewajiban tersebut. Oleh
karena itu, mereka layak menanggung dosa, serta layak menerima azab Allah dan
kehinaan di dunia dan di akhirat.
Kelayakan mereka menanggung dosa tersebut adalah suatu perkara yang
jelas dan pasti sebagaimana halnya seorang muslim yang layak menerima azab
karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah. Apalagi kewajiban tersebut merupakan tumpuan
pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain, tumpuan penerapan syari'at Islam secara
menyeluruh, bahkan menjadi tumpuan eksistensi tegaknya Islam agar panji-panji
Allah dapat berkibar di negeri-negeri Islam dan di seluruh penjuru dunia.
Adapun hadits-hadits
yang menyebut tentang uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat, dan
bahwa seorang muslim cukup membatasi diri hanya berpegang teguh pada perkara-perkara
agama yang khusus mengenai diri sendiri; tidak dapat dijadikan dalil
dibolehkannya berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan tidak
pula menggugurkan dosanya.
Bagi orang yang
meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama akan mengerti bahwa sebenarnya
hadits-hadits itu berkaitan erat dengan persoalan berpegang teguh pada agama,
bukan berkaitan dengan rukhshah (keringanan) bolehnya berdiam diri dari
kewajiban mengangkat Khalifah bagi kaum muslimin. Sebagai contoh Imam Bukhari meriwayatkan dari
Bisr bin Ubaidillah Al Hadlrami bahwa dia mendengar Abu Idris Al Khaulani
mendengar Hudzaifah bin Yaman berkata:
كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَني،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا
اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ:
نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيهِ
دَخَنٌ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدِيِي،
تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا
قَذَفُوهُ فِيهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: هُمْ مِنْ
جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: فَمَا تَأمُرُنِي إِنْ
أَدْرَكَنِي ذلِكَ ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ،
قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ، قَالَ: فَاعْتَزِلْ
تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى
يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
"Dahulu, biasanya orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena
khawatir jangan-jangan itu menimpaku. Maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami dahulu berada di
zaman Jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada
keburukan?' Beliau menjawab, 'Ya'. Aku
bertanya, 'Apakah setelah keburukan itu nanti ada kebaikan?' Beliau menjawab, 'Ya, tetapi di dalamnya ada
asap.' Aku bertanya, 'Apakah asap itu?' Beliau menjawab, 'Suatu kaum yang memberi
petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka ingkarilah.' Aku bertanya, 'Apakah setelah kebaikan
tersebut nanti ada keburukan?' Beliau
menjawab, 'Ya, yaitu munculnya da'i-da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa saja yang menyambut ajakan mereka,
niscaya akan mereka lemparkan ke dalam neraka itu.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, jelaskanlah
ciri-ciri mereka kepada kami.' Beliau
menjawab, 'Mereka itu mempunyai kulit seperti kulit kita dan berbicara dengan
bahasa kita.' Aku bertanya, 'Apakah yang
engkau perintahkan kepadaku, jika hal itu menimpaku?’ Beliau bersabda, 'Ikatkanlah dirimu kepada
jama'ah kaum muslimin dan imam mereka.'
Aku bertanya, 'Kalau tidak ada jama'ah dan tidak ada imam?' Beliau menjawab, 'Tinggalkanlah semua firqah
yang ada, walau sampai engkau menggigit akar pohon hingga engkau mati dalam
keadaan demikian.'"
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan
seorang muslim agar menetapi jama'ah kaum muslimin dan Imam (Khalifah) mereka,
serta meninggalkan da'i-da'i yang mengajak ke pintu neraka jahannam. Kemudian seseorang bertanya apa yang harus
dikerjakan dalam keadaan tidak ada jama'ah dan Imam sehubungan dengan menculnya
da'i-da'i yang mengajak ke pintu jahannam.
Pada situasi dan kondisi demikian, Rasulullah memerintahkan orang itu
agar menjauhi semua firqah yang ada, dan
bukan menjauhi kaum muslimin serta tidak pula memerintahkan berdiam diri
dari kewajiban mengangkat seorang imam.
Perintah beliau tegas, "Maka jauhilah semua firqah yang
ada" . Dan beliau sangat menekankan perintah ini, sampai-sampai beliau
menegaskan walaupun dalam rangka menjauhi firqah-firqah tersebut, seseorang
terpaksa menggigit akar pohon sampai mati.
Makna hadits ini
ialah “pegang teguhlah agamamu dan jauhilah da'i-da'i yang menyesatkan dan
mengajak ke pintu jahannam”. Hadits
ini tidak mengandung sedikit pun alasan untuk meninggalkan kewajiban mengangkat
seorang Khalifah dan tidak pula mengandung sedikit pun rukhshah dalam pelaksanaannya. Perintah dalam hadits di atas terbatas pada
perintah memegang teguh agama Islam dan menjauhi para da'i yang mengajak ke
pintu Jahannam. Jadi setiap muslim akan tetap menanggung dosa apabila tidak
berupaya mengangkat Khalifah. Sebab dalam hal ini dia diperintahkan untuk
menjauhi semua firqah yang sesat demi menyelamatkan agamanya dari para da'i
yang menyesatkan, walaupun harus menggigit akar pohon; dan bukan diperintahkan
agar menjauhi jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri dari kewajiban menegakkan
hukum-hukum agama dan kewajiban mengangkat seorang Imam bagi kaum muslimin.
Contoh yang lain
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Sa'id Al Khudri
RA yang berkata: Rasulullah SAW
bersabda:
يُوْشِك
أَنْ يَكُوْنَ خَيْرُ مَال الْمُسْلِمِ غَنَم يُتْبَعُ بِهَا شَعْفَ الْجَبَالِ
وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِيْنِهِ مِنَ الْفِتَنِ
"Hampir-hampir terjadi sebaik-baik harta seorang muslim ialah
kambing yang selalu dia ikuti di puncak gunung dan tempat-tempat jatuhnya
hujan, demi menjaga agamanya dari banyak fitnah".
Hadits ini tidak
berarti boleh mengasingkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri
dari kewajiban menegakkan hukum-hukum agama dan mengangkat Khalifah bagi kaum
muslimin. Seluruh kandungan hadits ini
adalah penjelasan tentang sebaik-baik harta seorang muslim di masa fitnah dan
sebaik-baik tindakan yang dilakukan dalam melarikan diri dari fitnah. Jadi
hadits ini bukan sebagai anjuran menjauhi dan ber-uzlah dari kaum
muslimin.
Penutup
Berdasarkan semua penjelasan di atas, maka tidak ada lagi alasan
bagi seorang muslim di permukaan bumi ini untuk berdiam diri dari kewajiban
yang telah dibebankan Allah kepada mereka untuk menegakkan agama. Kewajiban ini
tidak lain adalah mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin tatkala di
seluruh dunia tidak ada Khilafah; ketika tidak ada orang yang menegakkan
hukum-hukum Allah untuk memelihara segala sesuatu yang harus dijaga
kehormatannya; ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum agama dan
menyatukan kaum muslimin di bawah bendera La
Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Tidak ada dalam Islam sedikit pun keringanan
untuk berdiam diri dari kewajiban ini hingga Khilafah benar-benar berhasil
ditegakkan. [ ]
- - - - -
**Aktivis Hizbut
Tahrir.
0 komentar:
Posting Komentar