Oleh : M.
Shiddiq Al-Jawi
Makna Theo-Demokrasi
Konsep
theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul
A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami
pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah
wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti
dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide
theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima
secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas
menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama,
karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah
yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak
membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru
menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya
hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali
pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa,
yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi
kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Namun
demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti,
bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin.
Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang
menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan.
Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah
demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan
demokrasi Barat...” (Al-Maududi,
1988:67).
Mengenai
theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga
ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan
di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas
nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang
diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di
tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi
ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat
sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan
perundang-undangan Allah SWT
(Al-Maududi, 1988:67).
Walhasil,
secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan
kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang
datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan
rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan
Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien
Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and
Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine
democracy (demokrasi suci) atau popular
vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep
negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:17).
Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi
Catatan kritis pertama adalah
penggunaan istilah theo-demokrasi itu sendiri. Bolehkah kita menggunakan
istilah Barat yang maknanya bertentangan dengan Islam, seperti theokrasi dan
demokrasi, lalu diberi makna baru atau catatan-catatan agar tidak bertentangan
dengan Islam?
Memang,
Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat yang
sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan muatan makna baru yang Islami
seraya menolak muatan makna yang sekuler. Namun dia sendiri tidak pernah
menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang suatu istilah asing
seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan konsep
theo-demokrasi.
Menurut Taqiyuddin
An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan
Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat
dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan (An-Nabhani,
2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah
melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan,
apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang
antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman :
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan
‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)
“Raa’ina”
artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini
dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan
adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya
Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna”
yang sama artinya dengan “Raa’ina”. Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum
Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat
ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan
kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau
makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, theokrasi,
atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung
ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang
mengartikannya menurut perspektif Islami (Abdullah, 1996:10-11).
Kedaulatan dan Kekuasaan
Catatan kritis kedua, bahwa konsep
theo-demokrasi tidak secara jernih membedakan “kedaulatan” dan “kekuasaan”
dalam perspektif Islam. Ada semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya
dicampuradukkan menjadi satu, karena kata “theo” mewakili konsep kedaulatan
Tuhan (theokrasi), sedang kata “demokrasi” mewakili konsep kekuasaan rakyat.
Meski disayangkan, namun hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik
Barat yang dominan di seluruh dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu
sumber yang sama, yaitu rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber
legislasi (source of legislation) sekaligus sumber kekuasaan (source
of power).
Meski
demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat dibedakan. Kedaulatan (as-siyadah,
sovereignty) merupakan konsep yang berkaitan dengan kewenangan membuat
hukum (legislasi). Sedang kekuasaan (as-sulthan, power) berkaitan dengan
siapa yang berwenang menerapkan hukum itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24;
Al-Jawi, 2003:209-210).
Berdasarkan
pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40) merumuskan konsepnya mengenai
kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam. Kedaulatan (as-siyadah) dalam
Islam, adalah di tangan syara’ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan di
tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi Pembuat
Hukum (Al-Musyarri’, Law Maker) hanyalah Allah SWT (lihat misalnya QS
Al-An’aam : 57). Adapun kekuasaan (as-sulthan), adalah di tangan umat (as-sulthan
li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya
untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan yang tegas antara konsep
kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh An-Nabhani, kerancuan
berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan konsep theo-demokrasi
yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan menjadi satu, sehingga masih
berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman.
Kedaulatan Tuhan
Catatan kritis ketiga,
berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam
konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa
An-Nabhani mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya
konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tak ada perbedaan antara
An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat
hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini
terlihat dengan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk
tidak menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Sikap An-Nabhani tersebut akan
dapat dipahami karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang
bertentangan dengan Islam. Teori “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari
konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d
ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah
theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan,
baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan (Asshidiqie,
1995:23). Dalam theokrasi
Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan
kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena
mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari
kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan
teori kedaulatan Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau
raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di
langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit
(lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam
Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi
Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi
yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin
(lihat Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah
Al-Islamiyah, hal. 52).
Dari uraian sekilas ini,
nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak dapat dilepaskan dari konsep
theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang
menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori
kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam,
seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan--
dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani,
1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum.
Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia
berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar
disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan
Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal
dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu
Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan
ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam
antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat
An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan
syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah
li-llah), demi kejernihan pemikiran.
Penutup
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih banyak mendatangkan
masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan kecemerlangan dan
penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep theo-demokrasi cukup
bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini
tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem republik –atau republik
Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep theo-demokrasi
memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai
dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah
akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi
para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem
republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi “republik
Islam”, seperti misalnya Republik Islam Pakistan.
Sudah
selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam
upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak akan mungkin mengalami
kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran
yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah
selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang.
Bukankah Nabi SAW telah bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu (untuk)
menuju apa yang tidak meragukanmu.”
(HR. Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani) [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II.
Cetakan I.Beirut : Darul Bayariq.
Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. “Must Islam Accept Democracy?” dalam
David Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). Indonesian Politics and
Society : A Reader. London-New York : RoutledgeCurzon. hal. 207-211
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi
Al-Islam. Cetakan I. Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1988. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah
wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.
Amiruddin, M. Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara
Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press. hal.
103-105.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI.
t.tp. : t.p.
Asshidiqie, Jimly. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Cetakan
I. Jakarta : Gema Insani Press.
Djaelani, Abdul Qadir. 1994. “Kedaulatan Tertinggi dalam Negara”. Sekitar
Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Media Dakwah. Hal. 83-87.
Khomeini, Imam. Tanpa tahun. Al-Hukumah Al-Islamiyah. T.tp. :
t.p.
Rais, Amien. 1988. “Kata Pengantar”. Khilafah dan Kerajaan
(Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II.
Bandung : Mizan.
Sammarah, Ihsan. 1991.
Mafhum Al-Adalah
Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir. Cetakan II. Beirut : Dar
An-Nahdhah Al-Islamiyah.
0 komentar:
Posting Komentar