Pendahuluan
Disadari atau tidak,
pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam
pengertian Barat yang sekularistik. Menurut mereka, agama hanya mengatur
hubungan privat antara individu dengan Tuhan. Kalaupun mengatur hubungan antar
manusia, agama hanya mengatur pada aspek
yang terbatas, tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan
menyeluruh.
Ketika pemahaman
sekularistik ini diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan
distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Akhirnya Islam dipahami seperti
agama-agama lainnya yang a-politis dan impoten dalam mengatur kehidupan
manusia. Padahal, sebagai agama sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur
seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Tak ada satupun persoalan hidup
yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya.
Allah SWT berfirman :
“Pada hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kalian agama kalian...” (QS Al;
Maa`idah : 3)
“Dan telah Kami turunkan
kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur`an) menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)
Berdasarkan kenyataan adanya
reduksi Islam itu, diperlukanlah upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya
yang sebenarnya sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah
kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna yang lebih luas daripada
istilah “agama” menurut versi kaum sekuler yang kafir.
Siapa pun orangnya, pasti
mempunyai kesan dan persepsi bahwa “ideologi” mestilah bersifat holistik dan
total dalam mengatur kehidupan manusia. Janggal sekali ¾tepatnya, bodoh sekali¾ kiranya
kalau ada orang yang berpendapat bahwa “ideologi” tidak mengatur segala aspek
kehidupan atau hanya mengatur secuil aspek kehidupan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990) saja, mengartikan ideologi sebagai “kumpulan konsep
bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup.” (hal. 319)
Oleh sebab itu, kata
“ideologi” yang dirangkaikan dengan “Islam” ¾sehingga menjadi istilah “ideologi Islam”¾ sungguh bukanlah sekedar menarik secara leksikal dan gramatikal, namun
memiliki substansi makna yang dalam dan fundamental. Dengan kata “ideologi
Islam”, sebenarnya telah terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap
paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah membelenggu otak
umat sekaligus proses purifikasi dan revitalisasi terhadap Islam, yang
dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah
ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai penuntun dan pengatur segala urusan
hidup manusia secara utuh dan menyeluruh
(kaaffah). Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang
beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (QS Al Baqarah : 208)
“Apakah kalian akan
beriman dengan sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian (yang lainnya).
Maka tidaklah balasan bagi orang yang mengerjakan yang demikian itu dari
kalian, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti
mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)
Islam Sebagai Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab
: mabda`) menurut M.M. Ismail dalam Al Fikru Al Islami, adalah “al
fikru al asasi yubna alaihi afkaar”, yakni
pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebut juga aqidah,
yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan
kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah
tadi, merupakan peraturan hidup manusia (nizham) dalam segala aspeknya :
politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Agar aqidah tersebut
dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat akliah, atau dapat
dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir, bukan diperoleh melalui
jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut
aqidah akliah, yang darinya dapat dibangun pemikiran cabang tentang kehidupan.
Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan
sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham”, atau aqidah akliyah
yang melahirkan nizham (peraturan hidup) bagi manusia.
Definisi ideologi ini
bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi
dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk
Islam. Sebab Islam memang mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu Aqidah
Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu
Syariat Islam.
Dengan demikian, tatkala
kita menyebutkan istilah “ideologi Islam” sesungguhnya kita telah memelihara
substansi Islam itu sendiri –yaitu Aqidah dan Syariah— tanpa mengurangi atau
menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya tetap itu-itu juga. Hanya saja,
kita meletakkan keduanya dalam kerangka berpikir ideologis, untuk menghadapi
situasi kontekstual umat saat ini, yang menganggap Islam sebagai “agama” dalam
pengertian Barat yang sekuler.
Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan
zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem baru seiring
dengan perkembangan waktu. Misalnya, dulu tidak ada kloning, bayi tabung, dan
transplantasi, namun kini kemajuan di bidang biologi dan kedokteran itu telah
hadir di hadapan kita. Itu tantangan zaman. Dulu tidak terbayang ada sarana
komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan adanya
internet, berarti ada tantangan zaman. Penyakit AIDS, penggunaan narkoba,
pergaulan bebas yang liar di kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini
adalah tantangan zaman. Sebelumnya tidak ada negara Israel. Namun sekarang
Israel bercokol dan mengangkangi bumi Palestina yang suci dan diberkahi. Ini
tantangan zaman.
Kita
umat Islam dulu memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan
adanya kehidupan Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh
Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang
penguasa negeri-negeri Islam telah
mencampakkan ideologi Islam, menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme,
serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini
betul-betul tantangan zaman. Demikian seterusnya.
Setiap
tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai
ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi segala
masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia. Taqiyyuddin An Nabhani
dalam Asy Syakshiyah Al Islamiyah (juz I/303) menguraikan secara ringkas
metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami fakta
persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa
berupa Syari’at Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara’,
dan bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu
jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum
syara’, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya.
Secara
lebih khusus, dalam Nizhamul Islam (hal. 69), Taqiyyuddin An Nabhani
menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk memecahkan
persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada (fahmul
musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang bertalian dengan
problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum
syara’ dari dalil-dalil syara’ untuk menyelesaikan persoalan yang ada (istinbathul
hukmi).
Metode
itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara
ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan pemecahan
terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang benar
mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi.
Dengan
demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab
tantangan zaman, Islam menempuhnya
dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar
selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak
kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis
dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul
fiqih yang fatal kekeliruannya : Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi
taghayyuriz zaman wal makan. (Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum
karena perubahan waktu dan tempat) (Lihat Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal. 145).
Berdasarkan
argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang
dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang zaman modern saat
ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba,
hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena
dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman.
Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah
Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya
yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis,
serta tidak cocok dengan selera orang yang telah “maju” pikirannya.
Pendapat
seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan
dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat
seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang
persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum,
menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan
ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat
itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala
nilai, norma, dan pranata kehidupan. (Lihat Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami
Shalih Al Wakil, At Tasyri’ wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah,
hal. 9-11).
Pandangan
ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam
sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat,
bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang
sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba
telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud
wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari
Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya,
hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun
sampai Hari Kiamat.
Seorang
muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya dengan
pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan
tersebut berarti menolak nash-nash yang qath’i tsubut (pasti sumbernya
dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang
mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ dan menyumberkan
hukum-hukum syara’ itu dari al wahyu semata, bukan yang lainnya. Sekali lagi,
sumber hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT
berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sampai mereka
menjadikan dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang
mereka perselisihkan...” (QS An Nisaa` : 65)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan
janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia.” (QS Al A’raaf : 3)
“Dan barangsiapa tidak memberikan keputusan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Ideologi Islam
dan Konstelasi Politik Internasional
Penerapan
ideologi Islam secara sempurna untuk memecahkan masalah-masalah yang melanda
umat Islam kini, merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang
ada demikian bertumpuk, berjibun, dan seolah tak pernah berhenti mendera umat
Islam. Masalah-masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
sebagainya telah membuat kita terpuruk dan tertindas. Kalaupun diselesaikan,
pasti yang diterapkan adalah hukum-hukum yang jauh dari ketentuan wahyu Allah
SWT, karena sistem kehidupan yang ada sekarang telah dicengkeram oleh sistem
sekuler yang memisahkan agama dari arena kehidupan.
Dan
penerapan ideologi Islam, mau tak mau membutuhkan negara sebagai institusi yang
berdiri untuk menerapkan hukum-hukum syara’ sebagai solusi berbagai
problematika umat. Sebab tanpa negara, sebuah ideologi pasti akan lumpuh dan
tidak bermakna signifikan. Tanpa negara, sebuah ideologi hanya akan berupa
mitos atau filsafat kosong yang menjadi penghuni otak belaka, tidak bisa
diiimplementasikan secara konkret dalam realitas kehidupan manusia.
Dalam
Islam, negara ini disebut dengan Khilafah atau Imamah, yang tak
diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan
dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :
“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad)
--rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib...”
Tak hanya kalangan Ahlus
Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan
Syiah ¾termasuk juga Khawarij dan Mu’tazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang
Khalifah.
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87
mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus
Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai
wajibnya Imamah (Khilafah)…”\
Jika kita mencoba meneropong
realitas kontemporer saat ini, ideologi Islam cukup berpeluang untuk tampil
kembali dalam panggung politik tingkat dunia. Tengoklah, ideologi Sosialisme
telah bangkrut pada awal dekade 90-an dengan runtuhnya Uni Soviet. Negara-negara
yang mengklaim penganut Sosialisme, seperti RRC, akhirnya harus bertransformasi
menjadi negara Kapitalis. Memang, saat ini masih ada segelintir
pemuda/mahasiswa (muslim) yang bersemangat
—tetapi bodoh terhadap Islam— yang getol dan keranjingan mempelajari
Marxisme dan Komunisme, kemudian mempraktekkannya secara nyata dalam
gerakan-gerakan yang tujuannya adalah menyulut kontradiksi dan konflik di
antara komponen masyarakat, khususnya antara golongan borjuis dengan golongan
proletar.
Namun, Insya Allah usaha mereka akan gagal dan akan kita hancurkan dengan segala cara dan
upaya, karena Marxisme dan Komunisme adalah suatu kekafiran yang wajib dibasmi
dan ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tak ada ampun atau toleransi apa pun
terhadap Marxisme atau Komunisme. Marxisme dan Komunisme harus musnah dari muka
bumi.
Adapun ideologi Kapitalisme,
saat ini memang tengah berjaya dan terus berusaha melestarikan hegemoni dan
dominasinya atas dunia. Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara Barat
yang kafir terus berusaha mengokohkannya cengkeramannya atas Dunia Islam untuk
diinjak-injak, dieksploitir, dihisap kekayaan alamnya yang demikian kaya. Untuk
itu mereka telah menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kafir mereka seperti
demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan politik pasar bebas (Lihat kitab Al
Hamlah Al Amirikiyyah Lil Qadha` ‘Alal Islam).
Mereka pun terus melancarkan
fitnahan-fitnahan yang keji seperti tuduhan ekstrem dan fundamentalis terhadap
kaum muslimin yang ingin secara tulus mengembalikan Islam ke dalam tahta
kekuasaan. Sayang sekali, para penguasa di Dunia Islam telah memposisikan diri
mereka sebagai bagian dari pihak Barat ini. Mereka menjadi budak-budak yang
selalu tunduk, patuh, bertakbir, dan bersujud kepada majikan-majikan mereka,
yakni kaum penjajah yang kafir itu.
Lihatlah, alih-alih
menentang dan melawan, mereka malah mendatangkan IMF, Bank Dunia, dan
lembaga-lembaga internasional lainnya, lalu mengemis-ngemis, meratap, dan
menghiba kepada mereka tanpa malu kepada rakyatnya, serta pasrah begitu saja
terhadap instruksi-instruksi mereka untuk menjarah atau merampok harta kekayaan
umat yang seharusnya dijaga dengan penuh amanah dan tanggung jawab.
Namun demikian, sebenarnya
tanda-tanda kelapukan dan kehancuran Kapitalisme sudah mulai nampak. Protes-protes
terhadap WTO di Seattle (AS), lalu protes terhadap IMF dan Bank Dunia di Davos
(Swiss) dan Washington belakangan ini, menunjukkan bahwa Kapitalisme telah
mulai diragukan dan dibenci bahkan oleh para penganutnya sendiri. Geliat Dunia
Ketiga untuk menentang dominasi Barat pun nampak semakin mengental tatkala
dalam forum negara-negara G-77 di Havana (Kuba) Fidel Castro menyerukan,”Bubarkan
IMF !”
Karena itulah, jika
Sosialisme telah gagal, demikian pula Kapitalisme ¾yang akan
segera kita hancurkan, Insya Allah¾ maka kemana
lagi umat manusia akan berharap kalau bukan kepada ideologi Islam? Bukankah
sudah cukup lama umat manusia menderita dan tersiksa di bawah tindasan
ideologi-ideologi kafir seperti Sosialisme dan Kapitalisme?Bukankah
ideologi-ideologi kafir tak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia selain
penderitaan, kemelaratan, kebejatan moral, dan segala kesulitan hidup yang
sangat memprihatinkan dan menyedihkan ini?
Penutup
Sesungguhnya
ideologi Islam harus segera tampil di panggung kehidupan manusia untuk
menyelamatkan umat manusia dari jurang penderitaan dan gelimang kesengsaraan
yang nyaris tanpa batas. Kemunculannya adalah suatu keniscayaan, karena
kemenangan Islam telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-Nya
yang beriman dan ikhlas beramal shaleh.
Namun
demikian, umat Islam tidak berarti hanya bertopang dagu dan ongkang-ongkang
kaki menunggu kemenangan Islam. Justru mereka wajib berjuang bahu membahu satu
sama lain, dengan mengerahkan segala daya dan upaya, agar ideologi-ideologi
kafir segera punah dari muka bumi dan agar ideologi Islam kembali meraih
keunggulan dan kejayaan untuk tampil di tengah kehidupan umat manusia, walau
pun orang-orang kafir membencinya.
Allah
SWT berfirman :
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka. Dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun
orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash Shaff : 8). [ ]
0 komentar:
Posting Komentar